Minggu, 15 Maret 2015

CATUR GURU BHAKTI DALAM MODERNISASI


“Dhyāna mūlaṁ gurur murtiḥ Pūjā mūlaṁ gurur padam, Mantraṁ mūlaṁ gurur vākyaṁ
Mokṣa mūlam gurur kṛpam
– Pada saat mulai belajar pusatkanlah pikiran pada sosok sang guru, saat mulai melakukan pemujaan, berbaktilah di depan kaki guru, mantram adalah ajaran pertama kali keluar dari ucapan guru dan untuk mencapai Mokṣa mulailah dari karunia guru” Gurustotra 1.
Mampukah agama Hindu menghadapi arus modernisasi yang sangat dahsyat dewasa ini ? Masihkah relevan rasa bhakti kepada Catur Guru dalam era globalisasi dewasa ini ? Kita semua mengetahui dan menyadari akibat negatif modernisasi dewasa ini. dengan tidak mengurangi dampak positifnya, modernisasi ditandai oleh kecendrungan penyeragaman tata nilai (hal ini disadari ataupun tidak oleh masyarakat), pola pikir dan pola kerja nampaknya lebih cepat dan lebih baik serta ingin mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Modernisasi juga memperlihatkan kecendrungan dominasi masyarakat maju terhadap masyarakat yang sedang berkembang. Apabila kita kurang arif memberi konsesi, maka umat Hindu akan tidak saja kehilangan identitas, tetapi juga akan terjadi pendangkalan pengamalan agama dan sangat berbahaya bila pengaruh filsafat hedonisme yang permissif berkembang pesat yang didalamnya terdapat prinsip-prinsip: individualisme, sekulerisme dan materialisme.

Kitab Sarasamuccaya, menyatakan bila hanya mengejar kepuasan nafsu duniawi, maka diibaratkan seseorang yang menyiram api yang besar tidak dengan air, melainkan dengan bensin atau minyak tanah, api akan semakin besar dan dapat membakar atau menghancurkan segala. Mengejar kepuasan duniawi diibaratkan pula ibarat orang yang menggaruk-garuk gatal, enak pada mulanya dan ketika gatalnya lecet, maka keperihanlah akhirnya.
Pendidikan adalah sebuah proses penanaman nilai-nilai yang akan mengantarkan seseorang untuk mencapai kedewasaan dalam artian tidak hanya menyangkut jasmaniah, tetapi juga moral, metalitas dan spiritual.
Ajaran agama Hindu memandang peranan guru sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam menempuh pendidikan. Dalam kitab-kitab Upaniṣad dinyatakan bahwa pendidikan yang pertama adalah pendidikan yang diberikan oleh seorang ibu. Ibu adalah guru pertama yang memberikan pendidikan dan pelajaran kepada seorang anak.
Bila kita mengkaji keberhasilan seseorang, maka kita tidak dapat melepaskan diri untuk tidak memperhatikan siapakah yang mendidik yang bersangkutan sejak masa anak-anak hingga mencapai tingkat kedewasaan. Semuanya itu tidak lain adalah karena jasa dari para guru. Guru sangat berperanan dalam menetukan keberhasilan seseorang mencapai kedewasaan.
Istilah guru dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata Sanskerta yang artinya: berat, besar, kuat, luas, panjang, penting, sulit, jalan yang sulit, mulia, terhormat, tersayang, agung,sangat kuasa,orang tua (bapak-ibu) dan yang memberikan pendidikan (Apte,1978: 409). Istilah lainnya adalah Ācārya, Adhyāpaka, Upādhyāya dan Śiva. Kosa kata yang terakhir ini artinya adalah: yang memberikan keberuntungan atau kerahayuan, oleh karena itu di Bali para panditapun disebut Śiva oleh para śiṣyanya. Dalam pengertian yang lebih luas, guru adalah yang mendidik pribadi, yang mencurahkan ilmu pengetahuan sucinya dan yang membebaskan siswanya dari lembah penderitaan serta yang membimbing untuk mencapai Mokṣa sebagai tersebut pada Gurustotra 1 di atas. Pengertian lain tentang guru sesuai dengan isi lontar Panca siksa lamp. 3 adalah: “Guru ngaranya,wwang awreddha, tapowreddha,  jñānawreddha.Wwang awreddha ng. Sang matuha matuha ring wayah, kadyangganing bapa, ibu. pangajyan, nguniweh sang sumangāskāra rikita. Tapowreddha ng. sang matuha ring brata, Jñāna- wreddha ng. sang matuha rting aji” – Yang disebut guru adalah orang yang sudah Awreddha, Tapo- wreddha, Jñānawreddha. Orang Awreddha adalah orang yang sudah lanjut usianya seperti bapa, ibu, orang yang mendidik (mengajar/pangjyan), lebih-lebih orang yang mentasbihkan (mensucikan/sumangāskāra)engkau.Tapowreddha disebut bagi orang matang di dalam pelaksanaan brata. Jñānawreddha adalah orang yang ahli di dalam ilmu pengetahuan (spiritual).
Ditinjau tentang jenis-jenis yang disebut guru atau yang berfungsi sebagai guru, maka sebagai guru tertinggi dari alam semesta ini tidak lain adalah Hyang Widhi yang disebut Guru Param Brahma sebagai dinyatakan dalam Gurupūjā 2, berikut:
Oṁ Gurur Brahma Gurur Viṣṇu Gurur deva Maheśvara, Gurur sākṣat Param Brahma tasmai Śrī gurave namaḥ – Oṁ Hyang Widhi, Engkau adalah Brahma, Viṣṇu dan
Maheśvara, sebagai guru agung, pencipta, pemelihara  pelebur alam semesta. Engkau adalah Guru Tertinggi, Param Brahma, kepada-Mu aku memuja.
Di samping Parameṣtiguru, guru tertinggi di dalam lontar-lontar di Bali kita mengenal Tri Kang Sinanggeh Guru (tiga orang yang disebut guru) atau Triguru, yaitu: Guru rūpaka (orang tua, bapa-ibu), Guru pangajyan (guru yang memberi pendidikan dan pengetahuan suci untuk mendapatkan kesempurnaan) dan Guru viśesa (pemerintah yang menjadi abdi kesejahtraan rakyat dan tempat berlindung di kala kesusahan). Di dalam Vanaparva Mahabharata dikenal pula 5 jenis guru, yaitu: Ibu,Bapak,Guru vidyā, Api dan Ātman (CCXIV,27). Selanjutnya di dalam Dattatreya Jayanti, yakni perayaan turunnya Dattatreya (Brahma Viṣṇu dan Śiva dalam satu badan), umat Hindu di India mengenang kembali 24 hal yang dipandang sebagai guru. Dua puluh empat jenis Guru ini ditunjukkan oleh Dattatreya yaitu:  bumi, air, api, langit, angin bulan, matahari, merpati, ular piton, samudra, semut, lebah madu, tawon, gajah betina, menjangan, ikan, penari wanita, burung gagak, anak-anak, pelayan, ular, pembuat panah, laba-laba dan kumbang (Svami Śivānanda, 1991: 66). Setiap orang hendaknya belajar pada hal-hal yang baik dari 24 hal yang dapat memberikan teladan dalam berbuat dan bertingkah laku yang baik dan benar. Demikian antara lain beberapa jenis guru yang dapat diungkapkan berdasarkan susastra Hindu.
Bila setiap umat Hindu menyadari tentang makna penjelmaan dan tujuan hidup kita adalah untuk mencapai Mokṣa kebahagiaan yang sejati yakni bersatunya Ātman dengan Brahman, maka usaha untuk mengamalkan ajaran agama Hindu akan diwujudnyatakan, sehingga dampak negatif dari modernisasi tidak akan menjerumuskan orang-orang yang melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
Untuk mengamalkan ajaran agama sebaik-baiknya, baik untuk diri pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, maka perlu mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam era modernisasi ini dimana terjadinya persaingan untuk memperoleh kehidupan (lapangan kerja) sangat ketat, untuk itu diperlukan peningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan yang memadai. Berhasilnya seseorang menempuh jenjang pendidikan tertentu (apalagi pendidikan tinggi yang berkualitas) tidak akan mungkin bila kita tidak memiliki rasa bhakti kepada Catur Guru. Mereka yang melaksanakan ajaran Guru Bhakti sejak dini (anak-anak), secara umumakan dapat meningkatkan disiplin diri dan percaya diri. Dengan disiplin diri dan percaya diri yang mantap, tidak saja akan sukses dalam bidang akademik, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan. Di sinilah kita melihat ajaran Catur Guru Bhakti senantiasa relevan sepanjang masa, sesuai dengan sifat agama Hindu yang Sanatana Dharma itu. Aktualisasi ajaran Guru Bhakti dapat dikembangkan dalam situasi apapun, sebab hakekat dari ajaran ini adalah untuk pendidikan diri, utamanya adalah pendidikan disiplin, patuh dan taat kepada sang Catur Guru dalam arti yang seluas-luasnya.
To walk through life forever hand in hand together so let’s us begin!. Demikian pokok-pokok pikiran tentang rasa bhakti kepada Catur Guru dalam modernisasi, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar